TAK BISA MEMBENCI HUJAN
Pintu gerbang sudah mulai nampak. Jam yang melingkar di pergelangan tangan ini menunjukkan pukul 15.00. Aku berharap tidak bertemu dengan orang-orang yang kukenal. Hanya saja, semakin mendekati lokasi, debaran katup jantung yang memompa darah terasa semakin kuat. Motor yang dikendarai sepupuku melambat. Deg... jantung ini serasa ingin lompat. Lelaki itu, mata kami bertemu beberapa saat. Kamu terlihat memaksakan senyuman. Perlahan motor melewatimu. Aku alihkan pandangan ke tenda mewah itu.
Aku kembali lagi melihat senyumannya dan selalu saja aku tak mampu menafsirkan lekungan yang menggaris di bibirnya. Namun, kali ini aku seolah mampu menyimpulkan. Senyuman yang terkesan dipaksakan. Senyuman yang tak mampu menutupi kekagetannya melihat hadirku bersamanya.
Kamu, lelaki yang akhir-akhir ini mulai menelisik kalbu bahkan kerap hinggap dalam alam bawah sadarku. Kamu, lelaki yang awalnya kerap kuabaikan. Bukan karena kamu tak istimewa, justru karena kamu istimewa terutama di mata kaum hawa. Aku pun merasa tak perlu bersaing untuk menarik perhatianmu. Pikirku, untuk apa membuang waktu kepada seseorang yang tak peduli padaku. Lelah dan menguras hati.
Sampai, aku mendengar selentingan itu. Kamu pun mengusik duniaku. Sikapmu tetap sama, kenal namun tak mengenal. Begitu juga aku, tetap seperti semula. Hanya saja, hari-hari ini ada lubang kecil yang menggiringku untuk menyimpan namamu. Terselip dalam satu ruang hati walau kecil.
Bagiku, kamu adalah awan yang mampu membuat suasana hatiku berubah-ubah. Awan yang selalu membawa perubahan mengikuti angin. Kamu adalah Awan dan layak nama itu tersemat untukmu. Awan, kali ini kamu munculkan suasana mendung. Membuatku merasa seperti tokoh antagonis.
Awan, kamu tahu? Aku tidak bermaksud menggores hatimu. Hanya saja, aku tidak pernah berani mengartikan senyum dan tatapan lembutmu. Selentingan itu tak bisa kujadikan pedoman dan tentu saja tak bisa kupercaya kebenarannya. Awan, kamu tetap menikmati rasa dalam diam. Aku pun tak berani atau tak mampu membacanya.
Awan, mengapa kamu tak mampu melukis rasamu? sehingga aku memiliki keberanian untuk memastikan rasamu. Banyak tanya untukmu Awan, namun semua mengendap menjadi tanya yang tak mampu terjawab. Sore ini, seolah terjawab rasa dalam diammu. Kamu terluka, dan angin akan membawa luka, berubah menjadi mendung dan hujan. Setelah hujan maka akan ada pelangi. Tapi, semua itu tidak benar Awan!
Semua yang kamu lihat salah. Aku ingin mengklarifikasi apa yang kamu lihat hari ini. Namun, aku tak mampu menyampaikannya. Semua akan menjadi klarifikasi konyol atas rasa yang tak pernah kamu sampaikan.
Mata itu seolah mengikuti setiap gerak. Aku berusaha mengikuti matamu lewat ekor mataku juga. Awan, aku tersiksa dan ingin menangis. Berlari ke tempatmu dan mengatakan lelaki itu bukan siapa-siapa. Dia hanya sepupuku. Tapi, lagi-lagi logika menyanggah rasaku. Itu hanya perasaan sepihakku saja. Awan tidak pernah berkata apa pun tentang rasanya. Jadi, untuk apa aku pedulikan perasaannya. Aku tidak punya tanggung jawab terhadap rasa yang tak mampu disampaikannya.
Awan, ada tusukan-tusukan kecil menyayat. Aku sakit, selentingan itu kini benar-benar menghantuiku. Selentingan yang akhirnya membuatku merasa bersalah padamu. Awan, posisimu mulai terlihat mendekat, tepat di belakangku. Jajaran kursi dipadati orang-orang yang ingin mengucapkan selamat terasa kosong. Saat itu seolah hanya ada aku, kamu,dan dia. Aku semakin bingung dan tak mampu bergerak. Makanan yang kukunyah terasa hambar. Aku hanya mampu mengaduk-aduk makanan di atas piring ini.
Sebentar-sebentar ekor mataku mencoba mengikutimu. Kamu, duduk sendiri, mematung. Entahlah apa yang kamu pikirkan saat itu. Awan, ekor mataku hanya mampu mengikuti tubuhmu, tapi ekspresimu tak nampak. Awan, kamu menghilang. Kamu pergi entah kemana. Aku beranikan menolehkan kepala, melihat jajaran kursi di belakangku. Kamu telah pergi.
Tiba-tiba aku terlonjak, suara motor mengagetkanku. Kamu seolah sengaja mengambil jalan di samping. Aku bisa melihatmu utuh, namun kembali lagi aku tak melihat mata dan ekspresimu. Wajahmu tertutupi helm dengan kaca gelap. Tepat di samping, motormu pelan melewatiku namun suara motor terdengar lebih keras dari biasanya. Aku dengan segala keberanian yang kupunya mengikuti laju motormu. Sampai akhirnya motor itu lenyap dari pandanganku.
Awan, mungkin ini akhir untuk kisah yang tak pernah berawal. Kamu mungkin akan menarik diri dan semakin menjauh dariku. Awan, aku tak bisa menanyakan kebenaran selentingan itu. Awan, mungkin kamu pergi dengan membawa luka. Aku pun terluka. Awan, mendung itu semakin jelas menggayuti kita. Hujan akan segera datang. Rinainya yang deras mungkin menampar wajah ini. Aku pun tak pernah mampu membenci hujan walau dia akan membasuh jejakku dalam ingatanmu. Aku tetap tak mampu membenci hujan karena dia telah mendatangkan pelangi di hatimu.
***
"Mbak!" aku terhenyak mendengar panggilan manja dari adikku yang cantik. Lamunanku buyar teralih pada adikku ini. Widati Lituhayu Manyari nama yang diberikan kedua orangtuaku. Serangkaian bunga yang cantik berhati harum itulah harapan orangtuaku memberi nama itu. "Ada apa Manyar?" jawabku.
"Mbak, hatiku sakit." Manyari berkata dengan suara tertekan seolah ada benda berat yang menahan dadanya, terasa sesak. Manyari tak mungkin datang tiba-tiba ke Jakarta kalau tidak ada hal yang benar-benar penting.
Aku tatap mata kucingnya. Ada bulir bening mengalir di kedua pipinya yang langsat. Aku dekati adikku yang jelita. Bungsu kebanggaan keluarga. Gadis cantik dan cerdas. Manyari memang manja, namun dia tidak cengeng. Aku hampiri Manyari, mencari lokasi yang tepat untuk mendengarkan ceritanya.
Siang ini kantorku agak sepi, jadi kehadiran Manyari tidak terlalu menyita perhatian. Manyari datang di waktu yang mungkin tepat, jam makan siang. Manyari mengikutiku dengan langkah gontai bahkan terhuyung.
"Kenapa Manyar? Ibu dan Bapak sehat kan? atau ini tentang Rivan?" tanyaku seraya menjulurkan tisu yang ada di atas meja kerja. Rivan, lelaki yang sudah lima tahun menjalin hubungan dengan adikku. "Benarkah Rivan yang menyebabkan adikku menangis?" ujarku di benak.
"Ibu dan Bapak sehat. Ini bukan masalah Rivan tapi Gito. Dia nyakitin aku. Gito mempermainkan perasaanku." Air mata Manyari semakin menderas, suaranya yang sengaja ditekan tetap mampu memperjelas pernyataannya.
Gito, ya aku ingat. Lelaki ini teman sekantor Manyari. Beberapa bulan ini aku kerap mendengar namanya. Gito, lelaki yang kini berada diantara Manyari dan Rivan. Gito yang dikenal Manyari belum genap dua tahun. Gito yang mengalihkan perhatian Manyari dari Rivan. Hampir lima bulan mereka dekat. Gito pasti lelaki istimewa karena mampu membuat Manyari yang setia untuk berbagi hati.
Aku ingat lima bulan lalu Manyari mengirim pesan. Ia bercerita ada laki-laki yang nekat menyatakan perasaannya. Kukatakan nekat karena dia sudah tahu Manyari sudah memiliki kekasih lebih tepatnya calon pendamping. Manyari memang belum genap 25 tahun. Dua tahun lagi barulah usianya akan menginjak seperempat abad. Manyari memang berbeda denganku. Manyari bertekad menikah muda.
Si jelita ini cerdas namun sederhana. Menurutnya hidup ini simpel. Perempuan harus cerdas tapi kecerdasannya tidak untuk mencari nafkah. Manyari bercita-cita menjadi ibu rumah tangga. Ya, di rumah saja mengurus rumah dan mendidik anak, ujarnya saat itu. Aku sempat tertawa mendengar cita-citanya. Bahkan, aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Namun, cita-citanya itulah yang membuatnya cepat menyelesaikan pendidikan. Di usia 22 tahun dia sudah menyandang gelar sarjana. Bandingkan denganku? Lulus dari perguruan tinggi dia langsung diterima bekerja di perusahaan yang cukup ternama di kota kelahiran kami, Yogyakarta.
Manyari berencana hanya setahun atau dua tahun bekerja. Dia akan berhenti bekerja setelah menikah. Kedua orang tuaku pun tahu impian 'Ragilnya'. Manyari membuktikan ucapannya. Tumbuh menjadi gadis cantik namun tidak glamor dan malas. Manyari tetap tampil sederhana, giat belajar. Manyariku, Ragil keluarga kami kini tersandung cinta segitiga.
Manyari memang cukup berpengalaman dalam urusan asmara. Sejak menengah pertama ia sudah berani menjalin kasih dengan lawan jenis. Banyak lelaki yang kerap menyambangi rumah setiap malam minggu. Mereka datang hanya untuk menemui Manyari. Menemui gadis belasan, padahal di rumah itu masih ada satu perempuan lagi. Perempuan itu adalah aku.
Usia kami terpaut cukup jauh. Sepuluh tahun rentang usiaku dengan Manyar. Rentang yang begitu jauh itulah yang menyebabkan Manyar begitu dekat dan manja kepadaku. Aku mampu membaca setiap perubahan emosi yang ada padanya. Sikapnya mampu kubaca lewat ekspresi, gestur, atau pun ucapannya. Bisa dikatakan yang tahu Manyari itu mungkin ibu dan aku. Keempat saudaraku yang lain tidak memiliki keeratan emosi dengan Manyari.
Manyari seolah menganggap aku sebagai ibu kedua baginya. Tak ada satu pun hal tentang Manyari yang tak kuketahui. Manyari selalu meminta saran atau mendiskusikan segala sesuatunya kepadaku. Jika sudah kami diskusikan barulah Manyari mengambil keputusan.
"Apa yang telah Gito lakukan terhadapmu?" tanyaku. Cerita pun terangkai dari Manyari. Air matanya tetap menderas menemani rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir tipis nan merah milik adikku ini. Aku genggam tangan halus jelitaku mendengarkan ceritanya. Aku tak mampu berkata, hatiku juga terluka saat mendengar ceritanya.
"Mbak enggak percaya Gito bisa berbuat seperti itu. Dia mungkin sedang membohongimu. Bisa jadi dia melakukan itu agar kamu mantap melangkah bersama Rivan."
"Enggak Mbak, ini beneran. Aku selama ini enggak mampu menangkap pesannya. Aku enggak mampu memaknai 'hujan' yang sering dia sampaikan." Manyari berkata dengan terisak. Tergambar luka itu begitu dalam. Aku semakin erat menggenggam tangannya. Tak menyangka Gito bisa begitu melukai Manyari padahal aku tahu dia begitu mencintai Manyariku.
Gito mabuk kepayang dengan Manyari sejak awal melihatnya. Gito yang awalnya menampillan sikap permusuhan di kantor. Aku ingat, Manyari sering mengirim pesan kalau dia kesal dengan rekan kerjanya yang bernama Gito Wisesa. Aku katakan pada Manyari mungkin lelaki itu menaruh hati padamu. Manyari sempat tak mempercayai ucapanku. Menurut Manyari, lelaki itu begitu angkuh, sorot matanya dingin. Dia sangat sinis terhadap Manyari. Kami pun menduga Gito pernah terluka dengan perempuan yang wajahnya mirip Manyari.
Maka hampir setahun dia bekerja, cerita Manyari hanya terfokus pada lelaki itu. Rivan seolah terabaikan, dia seperti bagian kisah yang tidak dianggap oleh Manyari. Jelang tahun kedua mereka bekerja, tepatnya lima bulan lalu Gito mengungkapkan perasaannya. Sikap Gito yang angkuh, dingin, dan sinis hanyalah cara untuk menutupi perasaannya pada Manyari. Gito semakin galak terhadap Manyari setelah tahu kalau adikku itu sudah memiliki kekasih. Namun, perasaan yang dipendamnya selama setahun akhirnya tak mampu terbendung. Gito menyatakan perasaannya terhadap Manyari.
Minggu pagi, saat aku sedang membersihkan kamar kos ponselku berdering. Manyari mengirim pesan, isinya Gito mengungkapkan perasaannya. Aku tersenyum, kemudian meledeknya. Aku katakan saatnya membalas dendam atas sikap jahatnya selama ini. Seolah tak puas dengan mengirim pesan, adik cantik ini meneleponku. Suaranya begitu riang, suara yang beda saat aku mendengar Rivan menyatakan cinta padanya. "Manyari, adakah kamu juga mencintainya?" bersit tanya yang hanya mampu kusampaikan di hati.
Manyari meminta pendapatku. Dia bingung mesti bersikap apa. Antara surprise dan bahagia. Manyari memang terkejut, tak menyangka lelaki yang selalu menunjukkan sikap permusuhan terhadapnya ternyata mencintainya. Bahagia, untuk perasaan yang satu ini dia tak mampu mengartikannya.
Kukatakan pada Manyari untuk tidak menjawab menerima atau tidak. Toh, lelaki itu tahu kalau Manyari sudah menjalin hubungan yang cukup lama. Namun, Manyari juga tak berhak meminta Gito untuk berhenti mencintainya. Ya, karena menurutku cinta datang tanpa kita duga atau minta. Biarlah rasa itu datang dan jika sudah saatnya pergi dia akan hinggap di hati yang bisa jadi tepat. Itulah cinta, dia mungkin tidak salah hanya saja hadirnya mungkin di saat yang kurang tepat, bahkan jatuh pada orang yang mungkin belum tepat.
Aku katakan pada Manyari, bersikaplah wajar. Jadilah teman yang baik baginya. Kita bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan. Jodoh itu misteri. Hubungan Manyari dan Gito perlahan membaik. Sejak Gito menyampaikan perasaannya mereka semakin dekat. Pulang kerja bersama, makan siang bersama. Kebersamaan yang diperjelas oleh Manyari hanya sebagai teman. Gito pun menyadari kalau Manyari sudah memiliki kekasih. Rivan tahu kalau ada teman sekantor Manyari yang mencintainya.
Ibu selalu mengingatkan Manyari untuk tidak main hati. Pernikahan dengan Rivan akan digelar. Bisa jadi kehadiran Gito diantara Manyari dan Rivan untuk menguji kemantapan cinta mereka. Sekuat apa pun Manyari mempertahankan rasanya terhadap Rivan, akhirnya runtuh juga dengan kebersamaan yang mereka rengkuh. Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Perlahan namun pasti, sosok Gito mulai memenuhi hati Manyari.
Saat aku ada tugas kerja ke Yogyakarta, Manyari seolah ingin menguras perasaannya. Dia menangis, merasa lelah menjadi orang yang harus berbagi hati. Dia begitu tersiksa, dianggap menjadi tokoh antagonis atas rasa yang dimiliki dua lelaki baik. Aku katakan pada Manyari, hidup adalah pilihan. Manyari harus mampu memilih kedua lelaki baik. Pilihan berat dengan konsekuensi yang juga berat. Saatnya hati dan logika bekerja seimbang.
Rivan lelaki yang menemani hari-hari Manyari selama berproses di perguruan tinggi. Bisa jadi kehadiran Gito untuk menguji ikatan yang telah terjalin lima tahun. Apakah ikatan itu semakin merapuh seiring lamanya kebersamaan? Apakah semakin kuat ketika ada yang berusaha melepaskannya?
Gito, lelaki yang belum genap lima bulan dekat dengan Manyari. Hadirnya mampu mengimbangi langkah Manyari. Setiap harap yang tak pernah berani disematkan pada setiap laki-laki yang dekat dengannya justru diberikan pada Gito. Lelaki itu hadir sesuai dengan mimpi-mimpi yang pernah dibangun Manyari. Mimpi yang selama ini dia tidak pernah sampaikan. Kepada Gitolah mimpi itu berani diutarakan, kepada Gitolah mimpi itu seolah dapat terwujud. Harap Manyari pada Gito semakin membuncah.
Namun, logika menyadarkan setiap rasa yang terbentuk. Apa kata orang kalau dia harus menjatuhkan pilihan kepada Gito? Orang semakin menyudutkannya sebagai perempuan tak berhati. Menduakan kemudian meninggalkan. Aku begitu merasakan sesak dan dilema Si Ragil. Aku katakan, sudah saatnya Manyariku yang manja bermetamorfosis sebagai perempuan dewasa. Perempuan yang memikirkan perasaan orang-orang di sekitar kita. Memikirkan perasaan orang-orang yang menyayangi kita. Namun, ada kalanya kita berani memutuskan rasa yang memang harus diperjuangkan. Berani terbang membebaskan diri dari penilaian orang untuk rasa yang tidak juga menyakiti diri sendiri. Semua tergantung dari cara kita mengolahnya. Membuat mereka juga memahami rasamu, dan akhirnya biarkan sang waktu yang menjawab.
Ketika Manyari sudah mencoba memperjuangkan perasaannya secara perlahan, Meyakinkan pada ibu kalau Gito juga lelaki yang layak untuknya. Ketika ibu mulai goyah dan mulai membuka hati untuk menerima Gito. Tidak langsung menerima sebagai menantu karena Manyari pun tidak bisa semudah itu menyelesaikan kisahnya dengan Rivan. Saatnya untuk melakukan pilihan. Ibu dan aku diminta untuk membantu memilih lelaki yang akan menjadi pedampingnya kelak. Aku memang lebih condong memilih Gito, entahlah hanya saja perasaanku berkata Gito mampu menjadi imam untuk Manyariku. Sedangkan ibu, dia lebih condong memilih Rivan dengan alasan rentang waktu yang terjalin diantara mereka.
Manyari pun merasa hatinya sudah memberat pada Gito. Harapnya menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah sepertinya dapat terwujud jika bersama Gito. Rivan memang menolak keputusan Manyari untuk tidak bekerja. Manyari harus tetap bekerja walaupun sudah menikah, tujuannya untuk menambah ekonomi rumah tangga mereka. Manyari merasa dia tidak mesti kaya harta, karena menurutnya dengan menikah menghalalkan hubungan sudah membuatnya menjadi kaya. Manyari pun sudah terbiasa hidup sederhana. Mimpi Manyari yang lain adalah berusaha menjadi perempuan yang baik. Bersama Gito, Manyari belajar banyak hal terutama masalah agama. Ini tak didapatkan dari Rivan. Lelaki yang lima tahun menemaninya ini hanya mampu berkata, "terserah kamu kalau itu membuatmu nyaman." Sedangkan Manyari, berharap suaminya kelak mampu mengingatkan kalau dia melakukan kesalahan. Bersikap kebablasan, dan itu semakin jelas terlihat pada Gito.
Kini, gadis cantik di hadapanku menangis. Mimpinya mendadak sirna. Harap yang selama ini terbangun mendadak lenyap. Hujan seolah menghapus semuanya. Tak ada yang berbekas.
"Mbak, aku enggak nyangka kalau hujan yang selama ini yang dikatakan adalah...." Kalimat Manyar terhenti oleh sendat.
"Pantes, selama ini Gito berkata suka sekali dengan hujan karena hadirnya selalu menghangatkan. Aku enggak pernah berpikir kalau hujan...." kembali Manyar tersendat.
"Aku naif Mbak, dia menyukai hujan. Sama seperti aku yang menyukai bulan. Sama seperti Mbak yang begitu menyukai bintang. Aku salah mengartikan ucapannya Mbak!"
Aku tak mampu menangis, hatiku terkoyak dan tangisku seolah membeku. Aku hanya mampu menggenggam erat tangan adikku ini. Manyar memang begitu menyukai bulan, menurutnya bulan itu indah, cantik, teduh. Sedangkan aku menyukai bintang karena dia berkelip, dia mampu membantu dengan sinarnya yang walau tak seterang matahari. Taburan bintang bagiku adalah harapan, jika satu harap meleset maka masih banyak bintang yang bertaburan dan bercahaya di langit. Satu harap lepas maka masih banyak harapan yang akan tergapai.
Hujan hadirmu kembali membuat dua perempuan harus teringat akan luka. Aku akan kembali terluka kala hujan hadir karena mengingatkanmu pada Awan yang membawa hujan. Kali ini, hujan membuat Manyari, adik cantikku teringat akan lukanya.
"Mbak, aku enggak ingin dia meninggalkan Hujan. Aku enggak membenci Hujan. Hanya saja aku merasa dibohongi. Perasaanku dipermainkan olehnya. Aku sakit Mbak. Gito jahat!"
Aku sudah larut dalam emosi. Aku pun begitu membenci Gito. Mendadak aku ingin terbang ke Yogyakarta, memarahinya, mencacinya, menatap matanya sampai tembus ke hati dan sumsum tulangnya. Aku semakin marah ketika aku tahu ibuku pun menangis karena ulahmu. Kamu menyakiti dua orang yang kusayangi dan fatalnya kamu menyakiti perempuan yang kusayangi, kuhormati karena ada surga di kakinya. Ibuku, kamu menyakiti ibuku.
"Mbak, mau ke Yogya. Mau ketemu Gito. Lelaki bodoh yang bertindak gegabah tidak berpikir panjang atas keputusan yang dibuatnya."
Gito mengatakan bingung menyampaikan hal ini pada Manyari. Lelaki bodoh, memutuskan untuk melamar perempuan lain hanya karena merasa dia tidak mungkin dipilih oleh Manyari. Semestinya dia berpikir, untuk apa membuang waktu lima bulan menjaga perasaanmu agar tidak terluka. Meluluhkan hati ibu dengan menyampaikan hal-hal positif tentangmu. Menyimpan berjuta harap hanya lewat lima bulan. Akhirnya Manyari mencintaimu utuh. Lelaki bodoh yang tersadar ketika Manyari berkata bahwa dia mencintaimu. Kamu pun dengan mudahnya berkata akan melepas Hujan. Mudah sekali kamu perkataanmu, setelah kamu menyakiti Manyari kini Hujan pun akan kau lukai. Luka atas keputusan gegabah dari laki-laki yang awalnya kami pikir layak menjadi imam untuk Manyari.
Kesabaran Rivan membuahkan hasil. Kesetiaannya bahkan ketulusannya melepaskan Manyari untuk Gito justru membuahkan hasil. Manyari kini sudah tidak punya pilihan. Tertutup sudah hati Manyari untuk Gito.
"Mbak, aku enggak mungkin masuk diantara Gito dan Hujan. Mereka telah terikat oleh pertunangan, dua bulan lagi mereka menikah. Aku tidak membenci Hujan dan tidak ingin melukainya."
Manyariku berkata begitu lugas walau dalam sendat. Manyariku telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Dia tolak permohonan Gito. Andai Gito mau bersabar dan bertindak tidak gegabah. Saat Gito hadir diantara Manyari dan Rivan menurutku tidak terlalu bermasalah. Memang Gito dapat dikatakan sebagai orang ketiga yang mengganggu hubungan adikku dengan kekasihnya. Manyari pun mungkin akan dianggap sebagai pembagi hati, namun apakah kesetiaan Manyari selama lima tahun tidak diperhitungkan? Manyari dan Rivan hanya berkomitmen sebagai sepasang kekasih, dan dia belum dilamar. Jadi, ketika Gito hadir adalah skenario-Nya. Seperti yang pernah kukatakan jodoh itu misteri. Lama tidaknya hubungan tidak menunjukkan dia jodoh kita.
Gito pun hanya bisa menangis saat mengetahui Manyari telah mencintainya. Namun, semua terlambat. Hujan telah memupus kisah Manyari dan Gito. Pupus tak berbekas. Manyari harus bangkit dari keterpurukannya.
"Kenapa kamu saat itu enggak meminta untuk memperjuangkan dirimu? Kenapa malah luka dan luka yang justru kamu berikan padaku." Kalimat pembelaan Gito yang diucapkan Manyari padaku.
Lelaki bodoh, kami memang dua perempuan terpelajar. Namun, didikan budaya Jawa masih kuat mengakar di tubuh kami. Maka, Manyari tidak berani berkata seperti itu. Berharap kamu menyadari lewat sikapnya selama ini. Kamu bisa bertanya padaku tentang perasaan Manyari.
Sudahlah Manyari, semua sudah terjawab. Kamu dan dia memang ditakdirkan seperti ini. Kamu dengan Rivan dan dia dengan Manyari. Seperti yang Gito sampaikan, "pada akhirnya kita harus mengikhlaskan semua."
Jam istirahat selesai, kamu pamit aku peluk erat tubuhmu. Kamu kembali menangis. Setelah agak tenang kamu pamit ke kos. Esok kamu akan kembali ke Yogya, semoga kekuatan yang tidak seberapa kuberikan ini mampu menguatkanmu. Rivan mungkin takdirmu Manyari. Biarlah cintamu pergi bersama asa yang memang selama ini sudah kamu titipkan pada Gito. Biarlah semua terbang tinggi.
Kita memang tidak berhak membenci Hujan. Seperti yang kamu katakan padaku Manyari, berharap Hujan membawa kebahagiaan, Hujan bahagia. Seperti aku juga berharap setelah hujan datang, Awan kembali hadir mengantarkan pelangi. Biarlah semua rasa cinta tak pernah mampu tersampaikan, atau tersampaikan walaupun terlambat. Karena cinta itu tak bersyarat, karena cinta itu sederhana.
Seperti puisi Sapardi,
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat kuucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Manyari, memang sulit untuk menyembuhkan luka, yakinlah waktu akan mengeringkan lukamu. Gito, tak usah kamu meminta untuk mendampingi adik cantikku. Aku akan bersamanya. Terima kasih sudah memberikan harap dan cinta pada Manyariku. Mengajarkan dia luka karena dia akan tahu bahagianya kelak mungkin bersama Rivan. Sedangkan aku masih tetap di tempat ini menunggu cinta sederhana dari Awan. Cinta yang hanya memberi isyarat yang tak sempat disampaiak Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.