Minggu, 19 Oktober 2014

ESTETIKA (3)

PEMBAHASAN

Sutan Takdir Alisyahbana merupakan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga sastrawan pelopor angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdr Alisyahbana merupakan sastrawan yang produktif. Hasil karyanya ada yang berupa prosa (roman/novel, cerpen), puisi, beberapa essay sastra maupun kritik sastra.

Angkatan Pujangga Baru yang lahir sebelum kemerdekaan Inonesia memengaruhi pola pikir sastrawan masa itu. Rasa kebangsaan atau nasionalisme merupakan corak yang khas pada karya-karya S. Takdir Alisyahbana. Setiap karya S.T Alisyahbana menampakkan atau memperlihatkan betapa ia mencintai bangsa dan negaranya (tanah airnya), perjuangannya untuk mengangkat bangsanya agar layak berada di muka bumi ini. Pola pikir atau ide-idenya direflesikan lewat hasil karya-karyanya. 

Karya S. Takdir Alisyahbanadalam bentuk roman yaitu Tak Putus Dirundung Malang pertama kali terbit  tahun 1929, Anak Perempuan Di Sarang Penyamun (1932). Keduanya diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Roman Dian yang Tak Kunjung Padam (1932) diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat, dan karyanya yang cukup spektakuler pada masa itu yaitu novel atau roman Layar Terkembang (1936) diterbitkan oleh Balai Pustaka,

Roman-roman karya S. Takdir Alisyahbana dari segi strukturnya mempunyai ciri struktur estetik. Alur dalam keempat roman karya Alisyahbana ini lurus, tidak memunculkan degresi sehingga terlihat menjadi erat dan sederhana. Alur  roman Tak Putus Dirundung Malang diawali dari masa kecil tokoh utama yaitu Mansur dan Laminah beserta keluargnya (orang tua tokoh utama). Penderitaan yang dialami kedua tokoh terus berlanjut dengan meninggalnya kedua orang tua mereka, Kemudian mereka menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan. Penderitaan terus berlangsung hingga mereka dewasa. Akhir cerita Laminah bunuh diri karena sudah tidak tahan menghadapi berbagai penderitaan yang menimpanya. Begitu pula dengan Mansur, dia juga bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut selepasnya ia keluar dari penjara.

Alur cerita Anaka Perawan di Sarang Penyamun diawali oleh perjalanan saudagar kaya beserta keluarganya (istri dan anak). Kemudian mereka dirampok dan anak perempuan saudagar tersebut dibawa oleh perampok. Peristiwa mulai bergerak dengan keberadaan Sayu dan Samad. Sayu adalah anak gadis saudagar yang bernama H.Sahak. Samad anak buah Medasing (ketua gerombolan perampok). Konflik muncul karena Samad menyukai Sayu. Ia pun menghianati kelompoknya dengan membocorkan pada para saudagar bahwa kelompoknya akan merampok mereka. Saudagar yang mendapat informasi tersebut sudah bersiap-siap. Klimaksnya Medasing dan anak buahnya menjadi gagal merampok. Anak buah Medasing justru satu persatu tewas. Medasing dan Samad yang masih selamat. Anti klimaks cerita ini oleh S. Takdir Alisyahbana dimunculkan dalam bentuk konflik batin tokoh Sayu. Konflik batin itu berupa pertentangan antara ingin menolong Medasing atau membiarkannya terluka dan meninggal di depan matanya. Konflik batin yang muncul adalah rasa dendam dan rasa kemanusiaan, Konflik batin dimunculkan melalui tokoh Sayu. Akhirnya rasa kemanusiaan yang berhasil mengalahkan dendam Sayu pada Medasing. Sayu pun menolong Medasing. Penyelesaian roman ini adalah munculnya kesadaran Medasing atas kesalahan yang selama ini ia perbuat. Akhirnya ia menjadi orang baik dan menjadi suami Sayu.

Alur cerita Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang juga memiliki alur yang sama pada dua roman yang sudah dibahas. Eksposisi dengan pengenalan tokoh Yasin dan Molek dalam roman Dian yang Tak Kunjung Padam. Pengenalan tokoh dalam roman Layar Terkemban adalah Tuti, Maria, dan Yusuf. Komplikasi dalam kedua roman tersebut adalah kisah cinta para tokohnya. Percintaan Yasin dan Molek yang tidak disetujui. Kisah cinta Maria dan Yusuf yang tak sampai. Klimaks dalam roman Dian yang Tak Kunjung Padam adalah perpisahan antara Yasin dan Molek. Klimaks roman Layar Terkembang gagalnya pernikahan Maria dan Yusuf karena Maria meninggal. Anti klimaks Dian yang Tak Kunjung Padam Molek meninggal dunia dan Yasin mengasingkan diri. Anti klimaks dalam roman Layar Terkembang adalah pernikahan Yusuf dengan Tuti. Penyelesaian cerita tersebut tertutup (sad atau happy ending).

Berdasarkan teknik perwatakan, roman-roman S.Takdir Alisyahbana tidak lagi berupa analisis langsung, deskripsi fisik pun sedikit. Analisis perwatakan tidak langsung pada roman tersebut beruapa cakapan tokoh, penamaan tokoh, pandangan atau pendapat tokoh-tokoh lain, perilaku tokoh, sikap tokoh, dan pikiran tokoh.

Pusat pengisahan yang digunakan dalam keempat roman tersebut menggunakan metode orang ketiga objektif. Si pencerita sebagai orang ketiga, tapi ia mengetahui semua perbuatan serta kehidupan tokoh-tokohnya.

S.Takdir Alisyahbana tidak lagi memakai gaya bahasa seperti angkatan sebelumnya dalam karya-karyanya. Roman-romannya walau diterbitkan oleh Balai Pustaka gaya ceritanya bersifat sahaja dan sederhana, Gaya bahasa yang digunakan pada keempat roman tersebut menampakkan gaya yang romantik, Sutan T. Alisyahbana memakai bahasa yabg menyentuh perasaan pembacanya terutama pada bagian-bagian yang menyedihkan.

Gaya bahasa yang menunjukkan pengaruh romantik dalam roman Tak Putus dirundung Malang terdapat pada bagian penutup hal 109. Kutipannya sebagai berikut. 
           Air laut biru tua dan amat jernih. Ombak berkejar-kejaran menuju ketapak, makin dekat                     makin besar. Gegap mendahsyatkan bunyinya, memukul tebing seolah-olah akan meruntuhkan.          Air yang segar dan jernih itupun bercerai berai melanting ke segenap penjuru dan jatuh lagi              menjadi buih yang keputih-putihan. Demikianlah berulang-ulang tiada kunjung berhenti. 
Kutipan tersebut merupakan penggambaran perasaan tokoh yaitu Mansur dalam perjalanannya pulang dari penjara. Dia melihat bagaimana suasana alam terutama lautnya. Alisyahbana melukiskan itu dengan penuh khayal dan perasaan.

Penggambaran alam yang merupakan salah satu ciri dari aliran romantik memang tampak pada karya-karya Alisyahbana terutama roman-roman yang terbit pada tahun 30-an. Kutipan dari Dian yang Tak Kunjung Padam yang memperlihatkan penggambaran dan pemujaan alam terlihat pada kutipan berikut.
            Matahari telah lama terbenam di sebelah timur, tapi bayang-bayang cahayanya masih                        kelihatan jua di gunung Seminung yang tinggi itum sehingga puncaknya seperti bara yang                  menyala keunguan.... . Dan di balik selubung yang gelap itu timbullah perlahan-lahan bintang         satu persatu, mula-mula takut berani, tetapi kesudahannya bersinar-sinar sebagai permata yang           tiada ternilai harganya. 
Kutipan tersebut diambil pada akhir kisah Dian yang Tak Kunjung Pada, yaitu pada saat Yasin merasa senang dan lega karena dapat menolong sepasang kekasih yang ingin bersatu. Bagian penutup Dian yang Tak Kunjung Padam ditutup dengan manis oleh Alisyahbana.

Ungkapan perasaan dan kesadaran terhadap alam yang murni bersifat eksotis, misterius namun menumbuhkan emosi yang bebas nampak pada kutipan yang diambil dari novel Layar Terkembang halaman 43.
           Dan dalam kemesraan perasaan yang sedemikian itu dalamlah terinsyaf kepadanya, bahwa manusia itu tiada dapat terlepaskan dari pengaruh alam. Bahwa alam itulah pangkal segala tenaga, asal segala perasaan dan pikiran yang menyebabkan manusia dapat berbuat segala yang luhur dan besar.
Lukisan tentang alam pada roman karya S. Takdir Alisyahbana sepertinya sulit untuk ditemukan kelemahannya atau cacatnya. Jarang sekali terdapat lukisan yang melebihi karya S. Takdir Alisyahbana dalam kesusateraan Indonesia. Percakapan pelaku, antar tokoh dalam roman karyanya terutama Layar Terkembang semuanya masuk akal dan tidak dibuat-buat.

Selain ciri struktur estetis, karya S. Takdir Alisyahbana juga memiliki ciri ekstra estetis karena tema-tema yang diangkat olehnya bersangkutan dengan kehidupan masyarakat. Tema emansipasi wanita dalam roman Layar Terkembang, pekerjaan, individu dan konflik batin. Roman Layar Terkembang emansipasi perempuan diperlihatkan pada dua tokoh utama Maria dan Tuti. Sutan T. Alisyahbana dalam roman ini menggambarkan perjuangan perempuan untuk memperoleh kemerdekaan dan penghargaan (sejajar dengan laki-laki), yang nampak pada tokoh Tuti.

Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mewarnai karya sastra Pujangga Baru. Gaya romantik yang ada pada karya Sutan T. Alisyahbana adalah ide-ide yang bersifat orisinil, nasionalis. Cita-cita kebangsaan tersebut tertuang dalam roman Layar Terkembang. Kutipannya sebagai berikut.
         Sukarto teman berdiskusi dan bertukar pikiran. Keduanya merupakan orang yang idealis, orang yang penuh cita-cita terhadap bangsa dan tanah air (Alisyahbana, 1986 : 41). Alisyahbana juga melukiskan betapa cintanya pada tanah air yang terlukiskan dalam roman Layar Terkembang halaman 42.

Roman karya Sutan T. Alisyahbana bersifat didaktis atau mendidik. Keempat karyanya mempunyai pesan moral kepada para pembacanya. Pesan yang terkandung misalnya bagaimana kita menyikapi kehidupan yang keras dalam roman Tak Putus dirundung Malang. Amanat kepada para pembacanya bahwa manusia sebenarnya memiliki sisi yang baik walaupun dia seorang penjahat. Tergantung bagaimana manusia itu mengolah perasaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan terdapat dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Pesan moral yang terkandung dalam roman Dian yang Tak Kunjung Padam adalah tentang kesetiaan dan cinta sejati. Sedangkan dalam novel Layar terkembang amanat yang terkandung yaitu emansipasi wanita dan rasa nasionalisme.




Daftar Pustaka

Abdul Rani, Supratman. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
Alisyahbana, S.T. 1977. Tak Putus dirundung Malang. Jakarta : Dian Rakyat.
-------------------- . 1977. Dian yang Tak Kunjung Padam. Jakarta : Dian Rakyat.
-------------------- . 1986. Anak Perawan di Sarang Penyamun. Jakarta : Balai Pustaka.
-------------------- . 1986. Layar Terkembang. Jakarta : Balai Pustaka
Arifin, Djauhar. 1986. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Bandung : Rosda.
Hadimadja, Aoh. 1972. Aliran-aliran Klasik, Romantik dan Realisme dalam Kesusatraan : Dasar-             dasar Perkembangannya. Jakarta : Pustaka Jaya.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di dunia Sastra. Yogyakarta : Kanisius.
Sutrisno, FX Mudji. Estetika : Filsafat Keindahan, Yogyakarta : Kanisius.
Teeuw, A. 1965. Pokok dan Tokoh. Yogyakarta


Sabtu, 18 Oktober 2014

CERPEN

TAK BISA MEMBENCI HUJAN


Pintu gerbang sudah mulai nampak. Jam yang melingkar di pergelangan tangan ini menunjukkan pukul 15.00. Aku berharap tidak bertemu dengan orang-orang yang kukenal. Hanya saja, semakin mendekati lokasi, debaran katup jantung yang memompa darah terasa semakin kuat. Motor yang dikendarai sepupuku melambat. Deg... jantung ini serasa ingin lompat. Lelaki itu, mata kami bertemu beberapa saat. Kamu terlihat memaksakan senyuman. Perlahan motor melewatimu. Aku alihkan pandangan ke tenda mewah itu.

Aku kembali lagi melihat senyumannya dan selalu saja aku tak mampu menafsirkan lekungan yang menggaris di bibirnya. Namun, kali ini aku seolah mampu menyimpulkan. Senyuman yang terkesan dipaksakan. Senyuman yang tak mampu menutupi kekagetannya melihat hadirku bersamanya. 

Kamu, lelaki yang akhir-akhir ini mulai menelisik kalbu bahkan kerap hinggap dalam alam bawah sadarku. Kamu, lelaki yang awalnya kerap kuabaikan. Bukan karena kamu tak istimewa, justru karena kamu istimewa terutama di mata kaum hawa. Aku pun merasa tak perlu bersaing untuk menarik perhatianmu. Pikirku, untuk apa membuang waktu kepada seseorang yang tak peduli padaku. Lelah dan menguras hati.

Sampai, aku mendengar selentingan itu. Kamu pun mengusik duniaku. Sikapmu tetap sama, kenal namun tak mengenal. Begitu juga aku, tetap seperti semula. Hanya saja, hari-hari ini ada lubang kecil yang menggiringku untuk menyimpan namamu. Terselip dalam satu ruang hati walau kecil. 

Bagiku, kamu adalah awan yang mampu membuat suasana hatiku berubah-ubah. Awan yang selalu membawa perubahan mengikuti angin. Kamu adalah Awan dan layak nama itu tersemat untukmu. Awan, kali ini kamu munculkan suasana mendung. Membuatku merasa seperti tokoh antagonis.

Awan, kamu tahu? Aku tidak bermaksud menggores hatimu. Hanya saja, aku tidak pernah berani mengartikan senyum dan tatapan lembutmu. Selentingan itu tak bisa kujadikan pedoman dan tentu saja tak bisa kupercaya kebenarannya. Awan, kamu tetap menikmati rasa dalam diam. Aku pun tak berani atau tak mampu membacanya. 

Awan, mengapa kamu tak mampu melukis rasamu? sehingga aku memiliki keberanian untuk memastikan rasamu. Banyak tanya untukmu Awan, namun semua mengendap menjadi tanya yang tak mampu terjawab. Sore ini, seolah terjawab rasa dalam diammu. Kamu terluka, dan angin akan membawa luka, berubah menjadi mendung dan hujan. Setelah hujan maka akan ada pelangi. Tapi, semua itu tidak benar Awan! 

Semua yang kamu lihat salah. Aku ingin mengklarifikasi apa yang kamu lihat hari ini. Namun, aku tak mampu menyampaikannya. Semua akan menjadi klarifikasi konyol atas rasa yang tak pernah kamu sampaikan. 

Mata itu seolah mengikuti setiap gerak. Aku berusaha mengikuti matamu lewat ekor mataku juga. Awan, aku tersiksa dan ingin menangis. Berlari ke tempatmu dan mengatakan lelaki itu bukan siapa-siapa. Dia hanya sepupuku. Tapi, lagi-lagi logika menyanggah rasaku. Itu hanya perasaan sepihakku saja. Awan tidak pernah berkata apa pun tentang rasanya. Jadi, untuk apa aku pedulikan perasaannya. Aku tidak punya tanggung jawab terhadap rasa yang tak mampu disampaikannya.

Awan, ada tusukan-tusukan kecil menyayat. Aku sakit, selentingan itu kini benar-benar menghantuiku. Selentingan yang akhirnya membuatku merasa bersalah padamu. Awan, posisimu mulai terlihat mendekat, tepat di belakangku. Jajaran kursi dipadati orang-orang yang ingin mengucapkan selamat terasa kosong. Saat itu seolah hanya ada aku, kamu,dan dia. Aku semakin bingung dan tak mampu bergerak. Makanan yang kukunyah terasa hambar. Aku hanya mampu mengaduk-aduk makanan di atas piring ini. 

Sebentar-sebentar ekor mataku mencoba mengikutimu. Kamu, duduk sendiri, mematung. Entahlah apa yang kamu pikirkan saat itu. Awan, ekor mataku hanya mampu mengikuti tubuhmu, tapi ekspresimu tak nampak. Awan, kamu menghilang. Kamu pergi entah kemana. Aku beranikan menolehkan kepala, melihat jajaran kursi di belakangku. Kamu telah pergi. 

Tiba-tiba aku terlonjak, suara motor mengagetkanku. Kamu seolah sengaja mengambil jalan di samping. Aku bisa melihatmu utuh, namun kembali lagi aku tak melihat mata dan ekspresimu. Wajahmu tertutupi helm dengan kaca gelap. Tepat di samping, motormu pelan melewatiku namun suara motor terdengar lebih keras dari biasanya. Aku dengan segala keberanian yang kupunya mengikuti laju motormu. Sampai akhirnya motor itu lenyap dari pandanganku.

Awan, mungkin ini akhir untuk kisah yang tak pernah berawal. Kamu mungkin akan menarik diri dan semakin menjauh dariku. Awan, aku tak bisa menanyakan kebenaran selentingan itu. Awan, mungkin kamu pergi dengan membawa luka. Aku pun terluka. Awan, mendung itu semakin jelas menggayuti kita. Hujan akan segera datang. Rinainya yang deras mungkin menampar wajah ini. Aku pun tak pernah mampu membenci hujan walau dia akan membasuh jejakku dalam ingatanmu. Aku tetap tak mampu membenci hujan karena dia telah mendatangkan pelangi di hatimu.

***
"Mbak!"  aku terhenyak mendengar panggilan manja dari adikku yang cantik. Lamunanku buyar teralih pada adikku ini. Widati Lituhayu Manyari nama yang diberikan kedua orangtuaku. Serangkaian bunga yang cantik berhati harum itulah harapan orangtuaku memberi nama itu. "Ada apa Manyar?" jawabku.

"Mbak, hatiku sakit." Manyari berkata dengan suara tertekan seolah ada benda berat yang menahan dadanya, terasa sesak. Manyari tak mungkin datang tiba-tiba ke Jakarta kalau tidak ada hal yang benar-benar penting.

Aku tatap mata kucingnya. Ada bulir bening mengalir di kedua pipinya yang langsat. Aku dekati adikku yang jelita. Bungsu kebanggaan keluarga. Gadis cantik dan cerdas. Manyari memang manja, namun dia tidak cengeng. Aku hampiri Manyari, mencari lokasi yang tepat untuk mendengarkan ceritanya. 

Siang ini kantorku agak sepi, jadi kehadiran Manyari tidak terlalu menyita perhatian. Manyari datang di waktu yang mungkin tepat, jam makan siang. Manyari mengikutiku dengan langkah gontai bahkan terhuyung.

"Kenapa Manyar? Ibu dan Bapak sehat kan? atau ini tentang Rivan?" tanyaku seraya menjulurkan tisu yang ada di atas meja kerja. Rivan, lelaki yang sudah lima tahun menjalin hubungan dengan adikku. "Benarkah Rivan yang menyebabkan adikku menangis?" ujarku di benak.

"Ibu dan Bapak sehat. Ini bukan masalah Rivan tapi Gito. Dia nyakitin aku. Gito mempermainkan perasaanku." Air mata Manyari semakin menderas, suaranya yang sengaja ditekan tetap mampu memperjelas pernyataannya. 

Gito, ya aku ingat. Lelaki ini teman sekantor Manyari. Beberapa bulan ini aku kerap mendengar namanya. Gito, lelaki yang kini berada diantara Manyari dan Rivan. Gito yang dikenal Manyari belum genap dua tahun. Gito yang mengalihkan perhatian Manyari dari Rivan. Hampir lima bulan mereka dekat. Gito pasti lelaki istimewa karena mampu membuat Manyari yang setia untuk berbagi hati.

Aku ingat lima bulan lalu Manyari mengirim pesan. Ia bercerita ada laki-laki yang nekat menyatakan perasaannya. Kukatakan nekat karena dia sudah tahu Manyari sudah memiliki kekasih lebih tepatnya calon pendamping. Manyari memang belum genap 25 tahun. Dua tahun lagi barulah usianya akan menginjak seperempat abad. Manyari memang berbeda denganku. Manyari bertekad menikah muda.

Si jelita ini cerdas namun sederhana. Menurutnya hidup ini simpel. Perempuan harus cerdas tapi kecerdasannya tidak untuk mencari nafkah. Manyari bercita-cita menjadi ibu rumah tangga. Ya, di rumah saja mengurus rumah dan mendidik anak, ujarnya saat itu. Aku sempat tertawa mendengar cita-citanya. Bahkan, aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Namun, cita-citanya itulah yang membuatnya cepat menyelesaikan pendidikan. Di usia 22 tahun dia sudah menyandang gelar sarjana. Bandingkan denganku? Lulus dari perguruan tinggi dia langsung diterima bekerja di perusahaan yang cukup ternama di kota kelahiran kami, Yogyakarta. 

Manyari berencana hanya setahun atau dua tahun  bekerja. Dia akan berhenti bekerja setelah menikah. Kedua orang tuaku pun tahu impian 'Ragilnya'. Manyari membuktikan ucapannya. Tumbuh menjadi gadis cantik namun tidak glamor dan malas. Manyari tetap tampil sederhana, giat belajar. Manyariku, Ragil keluarga kami kini tersandung cinta segitiga.

Manyari memang cukup berpengalaman dalam urusan asmara. Sejak menengah pertama ia sudah berani menjalin kasih dengan lawan jenis. Banyak lelaki yang kerap menyambangi rumah setiap malam minggu. Mereka datang hanya untuk menemui Manyari. Menemui gadis belasan, padahal di rumah itu masih ada satu perempuan lagi. Perempuan itu adalah aku. 

Usia kami terpaut cukup jauh. Sepuluh tahun rentang usiaku dengan Manyar. Rentang yang begitu jauh itulah yang menyebabkan Manyar begitu dekat dan manja kepadaku. Aku mampu membaca setiap perubahan emosi yang ada padanya. Sikapnya mampu kubaca lewat ekspresi, gestur, atau pun ucapannya. Bisa dikatakan yang tahu Manyari itu mungkin ibu dan aku. Keempat saudaraku yang lain tidak memiliki keeratan emosi dengan Manyari.

Manyari seolah menganggap aku sebagai ibu kedua baginya. Tak ada satu pun hal tentang Manyari yang tak kuketahui. Manyari selalu meminta saran atau mendiskusikan segala sesuatunya kepadaku. Jika sudah kami diskusikan barulah Manyari mengambil keputusan. 

"Apa yang telah Gito lakukan terhadapmu?" tanyaku. Cerita pun terangkai dari Manyari. Air matanya tetap menderas menemani rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir tipis nan merah milik adikku ini. Aku genggam tangan halus jelitaku mendengarkan ceritanya. Aku tak mampu berkata, hatiku juga terluka saat mendengar ceritanya.
"Mbak enggak percaya Gito bisa berbuat seperti itu. Dia mungkin sedang membohongimu. Bisa jadi dia melakukan itu agar kamu mantap melangkah bersama Rivan."

"Enggak Mbak, ini beneran. Aku selama ini enggak mampu menangkap pesannya. Aku enggak mampu memaknai 'hujan' yang sering dia sampaikan." Manyari berkata dengan terisak. Tergambar luka itu begitu dalam. Aku semakin erat menggenggam tangannya. Tak menyangka Gito bisa begitu melukai Manyari padahal aku tahu dia begitu mencintai Manyariku. 

Gito mabuk kepayang dengan Manyari sejak awal melihatnya. Gito yang awalnya menampillan sikap permusuhan di kantor. Aku ingat, Manyari sering mengirim pesan kalau dia kesal dengan rekan kerjanya yang bernama Gito Wisesa. Aku katakan pada Manyari mungkin lelaki itu menaruh hati padamu. Manyari sempat tak mempercayai ucapanku. Menurut Manyari, lelaki itu begitu angkuh, sorot matanya dingin. Dia sangat sinis terhadap Manyari. Kami pun menduga Gito pernah terluka dengan perempuan yang wajahnya mirip Manyari. 

Maka hampir setahun dia bekerja, cerita Manyari hanya terfokus pada lelaki itu. Rivan seolah terabaikan, dia seperti bagian kisah yang tidak dianggap oleh Manyari. Jelang tahun kedua mereka bekerja, tepatnya lima bulan lalu Gito mengungkapkan perasaannya. Sikap Gito yang angkuh, dingin, dan sinis hanyalah cara untuk menutupi perasaannya pada Manyari. Gito semakin galak terhadap Manyari setelah tahu kalau adikku itu sudah memiliki kekasih. Namun, perasaan yang dipendamnya selama setahun akhirnya tak mampu terbendung. Gito menyatakan perasaannya terhadap Manyari.

Minggu pagi, saat aku sedang membersihkan kamar kos ponselku berdering. Manyari mengirim pesan, isinya Gito mengungkapkan perasaannya. Aku tersenyum, kemudian meledeknya. Aku katakan saatnya membalas dendam atas sikap jahatnya selama ini. Seolah tak puas dengan mengirim pesan, adik cantik ini meneleponku. Suaranya begitu riang, suara yang beda saat aku mendengar Rivan menyatakan cinta padanya. "Manyari, adakah kamu juga mencintainya?" bersit tanya yang hanya mampu kusampaikan di hati.

Manyari meminta pendapatku. Dia bingung mesti bersikap apa. Antara surprise dan bahagia. Manyari memang terkejut, tak menyangka lelaki yang selalu menunjukkan sikap permusuhan terhadapnya ternyata mencintainya. Bahagia, untuk perasaan yang satu ini dia tak mampu mengartikannya. 

Kukatakan pada Manyari untuk tidak menjawab menerima atau tidak. Toh, lelaki itu tahu kalau Manyari sudah menjalin hubungan yang cukup lama. Namun, Manyari juga tak berhak meminta Gito untuk berhenti mencintainya. Ya, karena menurutku cinta datang tanpa kita duga atau minta. Biarlah rasa itu datang dan jika sudah saatnya pergi dia akan hinggap di hati yang bisa jadi tepat. Itulah cinta, dia mungkin tidak salah hanya saja hadirnya mungkin di saat yang kurang tepat, bahkan jatuh pada orang yang mungkin belum tepat. 

Aku katakan pada Manyari, bersikaplah wajar. Jadilah teman yang baik baginya. Kita bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan. Jodoh itu misteri. Hubungan Manyari dan Gito perlahan membaik. Sejak Gito menyampaikan perasaannya mereka semakin dekat. Pulang kerja bersama, makan siang bersama. Kebersamaan yang diperjelas oleh Manyari hanya sebagai teman. Gito pun menyadari kalau Manyari sudah memiliki kekasih. Rivan tahu kalau ada teman sekantor Manyari yang mencintainya. 

Ibu selalu mengingatkan Manyari untuk tidak main hati. Pernikahan dengan Rivan akan digelar. Bisa jadi kehadiran Gito diantara Manyari dan Rivan untuk menguji kemantapan cinta mereka. Sekuat apa pun Manyari mempertahankan rasanya terhadap Rivan, akhirnya runtuh juga dengan kebersamaan yang mereka rengkuh. Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Perlahan namun pasti, sosok Gito mulai memenuhi hati Manyari.

Saat aku ada tugas kerja ke Yogyakarta, Manyari seolah ingin menguras perasaannya. Dia menangis, merasa lelah menjadi orang yang harus berbagi hati. Dia begitu tersiksa, dianggap menjadi tokoh antagonis atas rasa yang dimiliki dua lelaki baik. Aku katakan pada Manyari, hidup adalah pilihan. Manyari harus mampu memilih kedua lelaki baik. Pilihan berat dengan konsekuensi yang juga berat. Saatnya hati dan logika bekerja seimbang. 

Rivan lelaki yang menemani hari-hari Manyari selama berproses di perguruan tinggi. Bisa jadi kehadiran Gito untuk menguji ikatan yang telah terjalin lima tahun. Apakah ikatan itu semakin merapuh seiring lamanya kebersamaan? Apakah semakin kuat ketika ada yang berusaha melepaskannya? 

Gito, lelaki yang belum genap lima bulan dekat dengan Manyari. Hadirnya mampu mengimbangi langkah Manyari. Setiap harap yang tak pernah berani disematkan pada setiap laki-laki yang dekat dengannya justru diberikan pada Gito. Lelaki itu hadir sesuai dengan mimpi-mimpi yang pernah dibangun Manyari. Mimpi yang selama ini dia tidak pernah sampaikan. Kepada Gitolah mimpi itu berani diutarakan, kepada Gitolah mimpi itu seolah dapat terwujud. Harap Manyari pada Gito semakin membuncah.

Namun, logika menyadarkan setiap rasa yang terbentuk. Apa kata orang kalau dia harus menjatuhkan pilihan kepada Gito? Orang semakin menyudutkannya sebagai perempuan tak berhati. Menduakan kemudian meninggalkan. Aku begitu merasakan sesak dan dilema Si Ragil. Aku katakan, sudah saatnya Manyariku yang manja bermetamorfosis sebagai perempuan dewasa. Perempuan yang memikirkan perasaan orang-orang di sekitar kita. Memikirkan perasaan orang-orang yang menyayangi kita. Namun, ada kalanya kita berani memutuskan rasa yang memang harus diperjuangkan. Berani terbang membebaskan diri dari penilaian orang untuk rasa yang tidak juga menyakiti diri sendiri. Semua tergantung dari cara kita mengolahnya. Membuat mereka juga memahami rasamu, dan akhirnya biarkan sang waktu yang menjawab. 

Ketika Manyari sudah mencoba memperjuangkan perasaannya secara perlahan, Meyakinkan pada ibu kalau Gito juga lelaki yang layak untuknya. Ketika ibu mulai goyah dan mulai membuka hati untuk menerima Gito. Tidak langsung menerima sebagai menantu karena Manyari pun tidak bisa semudah itu menyelesaikan kisahnya dengan Rivan. Saatnya untuk melakukan pilihan. Ibu dan aku diminta untuk membantu memilih lelaki yang akan menjadi pedampingnya kelak. Aku memang lebih condong memilih Gito, entahlah hanya saja perasaanku berkata Gito mampu menjadi imam untuk Manyariku. Sedangkan ibu, dia lebih condong memilih Rivan dengan alasan rentang waktu yang terjalin diantara mereka. 

Manyari pun merasa hatinya sudah memberat pada Gito. Harapnya menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah sepertinya dapat terwujud jika bersama Gito. Rivan memang menolak keputusan Manyari untuk tidak bekerja. Manyari harus tetap bekerja walaupun sudah menikah, tujuannya untuk menambah ekonomi rumah tangga mereka. Manyari merasa dia tidak mesti kaya harta, karena menurutnya dengan menikah menghalalkan hubungan sudah membuatnya menjadi kaya. Manyari pun sudah terbiasa hidup sederhana. Mimpi Manyari yang lain adalah berusaha menjadi perempuan yang baik. Bersama Gito, Manyari belajar banyak hal terutama masalah agama. Ini tak didapatkan dari Rivan. Lelaki yang lima tahun menemaninya ini hanya mampu berkata, "terserah kamu kalau itu membuatmu nyaman." Sedangkan Manyari, berharap suaminya kelak mampu mengingatkan kalau dia melakukan kesalahan. Bersikap kebablasan, dan itu semakin jelas terlihat pada Gito.

Kini, gadis cantik di hadapanku menangis. Mimpinya mendadak sirna. Harap yang selama ini terbangun mendadak lenyap. Hujan seolah menghapus semuanya. Tak ada yang berbekas. 

"Mbak, aku enggak nyangka kalau hujan yang selama ini yang dikatakan adalah...." Kalimat Manyar terhenti oleh sendat. 

"Pantes, selama ini Gito berkata suka sekali dengan hujan karena hadirnya selalu menghangatkan. Aku enggak pernah berpikir kalau hujan...." kembali Manyar tersendat.

"Aku naif Mbak, dia menyukai hujan. Sama seperti aku yang menyukai bulan. Sama seperti Mbak yang begitu menyukai bintang. Aku salah mengartikan ucapannya Mbak!" 

Aku tak mampu menangis, hatiku terkoyak dan tangisku seolah membeku. Aku hanya mampu menggenggam erat tangan adikku ini. Manyar memang begitu menyukai bulan, menurutnya bulan itu indah, cantik, teduh. Sedangkan aku menyukai bintang karena dia berkelip, dia mampu membantu dengan sinarnya yang walau tak seterang matahari. Taburan bintang bagiku adalah harapan, jika satu harap meleset maka masih banyak bintang yang bertaburan dan bercahaya di langit. Satu harap lepas maka masih banyak harapan yang akan tergapai.

Hujan hadirmu kembali membuat dua perempuan harus teringat akan luka. Aku akan kembali terluka kala hujan hadir karena mengingatkanmu pada Awan yang membawa hujan. Kali ini, hujan membuat Manyari, adik cantikku teringat akan lukanya. 

"Mbak, aku enggak ingin dia meninggalkan Hujan. Aku enggak membenci Hujan. Hanya saja aku merasa dibohongi. Perasaanku dipermainkan olehnya. Aku sakit Mbak. Gito jahat!"
Aku sudah larut dalam emosi. Aku pun begitu membenci Gito. Mendadak aku ingin terbang ke Yogyakarta, memarahinya, mencacinya, menatap matanya sampai tembus ke hati dan sumsum tulangnya. Aku semakin marah ketika aku tahu ibuku pun menangis karena ulahmu. Kamu menyakiti dua orang yang kusayangi dan fatalnya kamu menyakiti perempuan yang kusayangi, kuhormati karena ada surga di kakinya. Ibuku, kamu menyakiti ibuku. 

"Mbak, mau ke Yogya. Mau ketemu Gito. Lelaki bodoh yang bertindak gegabah tidak berpikir panjang atas keputusan yang dibuatnya."

Gito mengatakan bingung menyampaikan hal ini pada Manyari. Lelaki bodoh, memutuskan untuk melamar perempuan lain hanya karena merasa dia tidak mungkin dipilih oleh Manyari. Semestinya dia berpikir, untuk apa membuang waktu lima bulan menjaga perasaanmu agar tidak terluka. Meluluhkan hati ibu dengan menyampaikan hal-hal positif tentangmu. Menyimpan berjuta harap hanya lewat lima bulan. Akhirnya Manyari mencintaimu utuh. Lelaki bodoh yang tersadar ketika Manyari berkata bahwa dia mencintaimu. Kamu pun dengan mudahnya berkata akan melepas Hujan. Mudah sekali kamu perkataanmu, setelah kamu menyakiti Manyari kini Hujan pun akan kau lukai. Luka atas keputusan gegabah dari laki-laki yang awalnya kami pikir layak menjadi imam untuk Manyari.

Kesabaran Rivan membuahkan hasil. Kesetiaannya bahkan ketulusannya melepaskan Manyari untuk Gito justru membuahkan hasil. Manyari kini sudah tidak punya pilihan. Tertutup sudah hati Manyari untuk Gito.
"Mbak, aku enggak mungkin masuk diantara Gito dan Hujan. Mereka telah terikat oleh pertunangan, dua bulan lagi mereka menikah. Aku tidak membenci Hujan dan tidak ingin melukainya."

Manyariku berkata begitu lugas walau dalam sendat. Manyariku telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Dia tolak permohonan Gito. Andai Gito mau bersabar dan bertindak tidak gegabah. Saat Gito hadir diantara Manyari dan Rivan menurutku tidak terlalu bermasalah. Memang Gito dapat dikatakan sebagai orang ketiga yang mengganggu hubungan adikku dengan kekasihnya. Manyari pun mungkin akan dianggap sebagai pembagi hati, namun apakah kesetiaan Manyari selama lima tahun tidak diperhitungkan? Manyari dan Rivan hanya berkomitmen sebagai sepasang kekasih, dan dia belum dilamar. Jadi, ketika Gito hadir adalah skenario-Nya. Seperti yang pernah kukatakan jodoh itu misteri. Lama tidaknya hubungan tidak menunjukkan dia jodoh kita.

Gito pun hanya bisa menangis saat mengetahui Manyari telah mencintainya. Namun, semua terlambat. Hujan telah memupus kisah Manyari dan Gito. Pupus tak berbekas. Manyari harus bangkit dari keterpurukannya.

"Kenapa kamu saat itu enggak meminta untuk memperjuangkan dirimu? Kenapa malah luka dan luka yang justru kamu berikan padaku." Kalimat pembelaan Gito yang diucapkan Manyari padaku.

Lelaki bodoh, kami memang dua perempuan terpelajar. Namun, didikan budaya Jawa masih kuat mengakar di tubuh kami. Maka, Manyari tidak berani berkata seperti itu. Berharap kamu menyadari lewat sikapnya selama ini. Kamu bisa bertanya padaku tentang perasaan Manyari. 

Sudahlah Manyari, semua sudah terjawab. Kamu dan dia memang ditakdirkan seperti ini. Kamu dengan Rivan dan dia dengan Manyari. Seperti yang Gito sampaikan, "pada akhirnya kita harus mengikhlaskan semua."

Jam istirahat selesai, kamu pamit aku peluk erat tubuhmu. Kamu kembali menangis. Setelah agak tenang kamu pamit ke kos. Esok kamu akan kembali ke Yogya, semoga kekuatan yang tidak seberapa kuberikan ini mampu menguatkanmu. Rivan mungkin takdirmu Manyari. Biarlah cintamu pergi bersama asa yang memang selama ini sudah kamu titipkan pada Gito. Biarlah semua terbang tinggi.

Kita memang tidak berhak membenci Hujan. Seperti yang kamu katakan padaku Manyari, berharap Hujan membawa kebahagiaan, Hujan bahagia. Seperti aku juga berharap setelah hujan datang, Awan kembali hadir mengantarkan pelangi. Biarlah semua rasa cinta tak pernah mampu tersampaikan, atau tersampaikan walaupun terlambat. Karena cinta itu tak bersyarat, karena cinta itu sederhana.

Seperti puisi Sapardi, 
           Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat kuucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
           Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Manyari, memang sulit untuk menyembuhkan luka, yakinlah waktu akan mengeringkan lukamu. Gito, tak usah kamu meminta untuk mendampingi adik cantikku. Aku akan bersamanya. Terima kasih sudah memberikan harap dan cinta pada Manyariku. Mengajarkan dia luka karena dia akan tahu bahagianya kelak mungkin bersama Rivan. Sedangkan aku masih tetap di tempat ini menunggu cinta sederhana dari Awan. Cinta yang hanya memberi isyarat yang tak sempat disampaiak Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.




Jumat, 17 Oktober 2014

ESTETIKA (2)

KAJIAN TEORI

Romantik adalah istilah yang mencakup berbagai faktor majemuk seperti aliran kebudayaan yang terjadi di Eropa semenjak akhir abad 18. Untuk memahami aliran romantik maka tidak bisa lepas dari masa Renaessance. Pada masa Renaessance ada keyakinan bahwa segala sesuatu dapat dicapai dengan otak (memunculkan rasionalisme). Aliran romantik muncul menentang paham rasio. Menurut (Hadimadja, 1972 : 40) untuk menentukan kebenaran harus pula didengar suara hati, selain itu jiwa manusia bukan saja dari pikiran melainkan juga dari perasaan. Bagi kaum romantis perasaanlah yang memberi garam kehidupan.

Romantisme adalah aliran yang pengarangnya selalu melukiskan sesuatu secara sentimentil, penuh perasaan (Rani, 1966 : 25). Aliran romantis senantiasa memilih kejadian-kejadian dahsyat sebagai tema, penuh khayal dan perasaan, petualangan atau tentang kejadian-kejadian masa kuno atau tentang negeri-negeri Timur yang fantastis. Aliran ini lebih menekankan bagian yang emosional dari tingkah laku dan sifat manusia daripada sifat yang rasional, lebih mengutamakan kepercayaan dan intuisi bukannya kecerdasan. Aliran ini lebih cenderung mengemukakan temperamen senimannya daripada tekniknya (Arifin, 1986 : 125)

Romantik di Perancis dirilis oleh Rousseau dan dipopulerkan oleh Chateubriand dan mencapai puncaknya dalam karya Victor Hugo (1827). Aliran romantik di Inggris mencapai puncaknya melalui karya Walter Scot. Karyanya ini berbentuk roman sejarah. Penyair beraliran romantik yang lainnya adalah Wordsworth, Shelley, Keats, dan Byron. 

Aliran romantik di Indonesia nampak pada karya-karya sastra angkatan 30-an yang dikenal dengan angkatan Pujangga Baru.  Karya sastra beraliran romantik pada prosa, puisi, maupun drama pada masa itu terpengaruh dari negeri Belanda dengan gerakan 80-nya. Sastrawan Pujangga Baru di Indonesia memperlihatkan pengaruh romantik dengan beberapa ciri sebagai berikut.
1. Pemujaan terhadap alam yang murni.
2. Bersifat eksotis, misterius, emosi yang bebas, pemberontakan terhadap gaya hidup kaum borjuis.
3. Memupuk yang orisinil, identitas nasional, foklore dan alam gaib (Hartoko dan Rahmanto, 1986:122).



(Lanjut Pembahasan...)





Rabu, 15 Oktober 2014

ESTETIKA

KAJIAN POLA ESTETIK ROMANTISME
DALAM KARYA SULTAN TAKDIR ALISYAHBANA (Roman Tahun 30-an)

PENDAHULUAN

Estetika merupakan kata yang berasal dari Yunani aesthesik yang berarti perasaan. Estetika merupakan cabang filsafat yang mempelajari objek yang indah (berhubungan dengan teori keindahan). Berhubungan dengan keindahan alam, karya seni, dan pengalaman yang ada pada diri seseorang. Estetika merupakan cabang filsafat yang pertama kali dipakai oleh Baumgarten (1758). Namun, sebenarnya sudah ada beberapa filsuf yang menekuni bidang ini, antara lain ; Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Vico. Estetika menjadi rumpun ilmu yang berdiri sendiri dan sangat luas lingkupnya. Rumpun estetik ini dapat disebut dengan estetik modern/ilmiah.

Aliran-aliran pemikiran yang tumbuh dan berkembang memberi sumbangan pada estetika. Munculnya berbagai pemikiran mengenai teori keindahan karya seni diawali oleh para filsuf dari Yunani (Plato sebagai pelopornya) dan filsuf Romawi. Pemikiran pada masa Renaessance, kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran pemikiran pada masa modern sekitar abad 18 sampai abad 20.

Aliran-aliran pemikiran tersebut adalah Rasionalisme dan Empirisme (sekitar abad 18). Abad 19 muncul aliran Idealisme Jerman dengan tokohnya Immanuel Kant. Aliran Romantik pun muncul di abad 19. Akhir abad 19 tumbuh aliran Impresionisme dan Ekspresionisme. Kemudian, aliran-aliran tersebut juga terdapat di dunia seni. Abad 20 bermunculan aliran kesenian seperti Simbolisme, Judgenstil, Fauvisme, Surealisme, Kubisme, Abstrak, dan lain-lain.

Berbagai aliran tersebut tidak hanya dikenal dalam seni lukis. Aliran-aliran tersebut di kemudian hari dipakai untuk menunjukkan perkembangan-perkembangan dan pandangan serupa yang masuk dalam cakupan seni atau konteks seni lainnya seperti seni pahat, arsitektur, sastra, musik, dan tari.

Sastra merupakan bagian dari seni yang bersifat estetis selain bersifat etis. Sastra dikatakan memiliki fungsi estetis karena indah, maka secara otomatis sastra akan memberikan keindahan bagi para penikmatnya atau pembaca. Karya sastra berbeda dengan teks nonsastra karena berdasarkan fungsi dan susunan intern karya sastra berfungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu. agar dapat berfungsi secata estetis teks sastra disusun secara khas (bobot semantik). Hubungan antara bobot semantik dan organisasi intern (susunan struktur) tergantung pada jenis estetika yang berlaku dalam lingkungan kebudayaan tertentu (Hartoko & Rahmanto, 1986 : 125).

Aliran romantik yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah disebutkan di atas juga berkembang di Indonesia. Aliran romantik mempengaruhi gaya berekspresi para seniman dalam menuangkan imajinasinya. 




(lanjut materi berikutnya : Kajian Teori)

Senin, 17 Maret 2014

fiksi nonfiksi sepenggal kisah di sisa usia



MENAPAKTILASI USIA (KEJUTAN, TIM, & KITA)



“Ibu….diam!”  dari belakang tubuhku dipeluk, bel
um sempat aku menengok ke belakang, mataku tiba-tiba tertutup kain hitam. Aku sangat mengenal suara orang itu. Perempuan belia yang datang seolah hendak menculikku di keramaian pusat perbelanjaan ini.


 

“Ibu, ayo jalan pegang tangan saya, jangan khawatir!” perempuan itu berbisik. Aku berdiri, tangan ini menggenggam erat tangannya. Bingung dan khawatir membuat kerja jantungku keras berdetak. Apa yang diinginkan perempuan belia ini? pikirku. 

“Ibu, kuat sekali menggenggam tanganku, jangan khawatir. Maafkan saya Bu, kami terpaksa melakukan ini. Hanya sebentar saja, sabar ya Bu!” dalam bisikan yang masih lembut, seolah tahu aku begitu ketakutan. Rencana apa yang diperbuatnya untukku. Telinga ini hanya mampu menyampaikan ke otak riuhnya orang berlalu lalang. Otakku mendeskripsikan orang-orang yang berlalu lalang di pusat perbelanjaan ini memandang kami aneh. 

“Kita akan naik lift, sabar ya Bu, maafkan saya, beberapa menit saja.” Sontak aku berjalan mundur. Aku katakan padanya aku takut naik lift dengan mata tertutup seperti ini. Ah, biasanya aku melakukan ini pada siswa-siswaku saat pelatihan dan pengkaderan. Kini, aku yang diberlakukan seperti ini. Baru menyadari bagaimana rasanya berjalan dengan mata tertutup. 

Kurasakan perempuan belia ini begitu menjagaku. Dia berusaha menjaga tubuhku dari himpitan orang-orang yang keluar masuk lift. Kerap dia memelukku agar tubuhku tidak tersentuh oleh orang-orang yang tak kulihat. Aku merasakan dia tidak sendirian. Dalam mata tertutup ini, indera pendengaranku terasa begitu peka. Bisikan begitu halus pada temannya aku bisa dengar. Perempuan belia itu memberi kode untuk menekan tombol. 

“Bu, satu lantai lagi kita tiba. Ibu kenapa diam saja?” perempuan belia itu kembali membisikkan pertanyaannya padaku. Kepalaku sedang menduga-duga apa yang akan mereka lakukan berikutnya. Perempuan belia ini sedang memberikan kejutan untukku. Bersit perasangka buruk sempat muncul. Akankah dia akan menggoyak kepalaku dengan tepung dan telur? Ah, kejutan tak berkelas, kekanak-kanakkan dan tidak cerdas. Tapi, kemudian aku menafikkannya. Tak mungkin mereka membuat kejutan seperti itu. Aku tahu betul perempuan belia itu, begitu pula rekannya. Hanya saja aku tak mampu menerka kejutan macam apa yang mereka perbuat untukku.


Aha, Bu, akhirnya kita sudah sampai.” Perempuan belia itu tetap menuntunku. Tubuhku dalam dekapannya. Dia menghitung langkah kami. Aku begitu ingat, sepuluh langkah, kemudian dia memintaku berhenti. Perempuan belia itu memintaku untuk tetap menatap ke depan saat kain hitam penutup mataku dilepas.

“Ibu, boleh menengok ketika saya berhitung dalam hitungan mundur ya!”  ujar perempuan belia itu seraya melepaskan ikatan penutup mataku. Aku seperti orang buta yang baru selesai operasi netra. Aku merasakan berada di lantai paling atas. Desiran angin yang menerpa tubuh ini memperkuat dugaan. Mata ini perlahan membuka, gambar yang mengabur perlahan membentuk bayangan, semakin lama semakin nampak jelas. Benar, aku di lantai paling atas sebuah gedung pusat perbelanjaan. Aku tatap, jajaran kendaraan, deretan rumah yang membentuk seperti miniatur. Perempuan belia itu menghitung mundur, sampai akhirnya hitungan satu aku membalikkan tubuhku ke belakang.

Dua orang perempuan belia dengan senyum manisnya mendekatiku. Membawa cake kecil, di atasnya ada satu lilin. Mereka menembang sebuah lagu yang kerap kutuliskan liriknya pada saat mereka belajar majas. Tembang milik Andra And The Backbone ‘Sempurna’.

Kau begitu sempurna, di mataku kau begitu indah 
Kau membuat diriku, akan selalu memujamu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Di setiap langkahku
Ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan
Hidupku tanpa cintamu


janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa



Aku benar-benar mendapat kejutan istimewa. Begitu istimewa dari dua perempuan belia yang begitu luar biasa. Aku tak mampu berkata-kata ketika salah satu perempuan belia yang biasa dipanggil Kakak menyampaikan sesuatu. “Ibu, maafkan aku karena di saat hari jadimu sama sekali tak memberi selamat baik lewat sms maupun lewat media sosial. Karena aku akan memberikan kejutan hari ini. Kami berhasil Bu! Perempuan belia itu bersorak. Kerongkonganku masih tercekat. 

Satu lagi perempuan belia yang biasa disapa Adik, menghampiriku. Belum berkata-berkata, di bibirnya tersungging senyuman. Mata indahnya, sontak membuat kaca-kaca di mata membentuk butiran bening di sudut mata ini. Aku hapus butiran bening dengan sudut jemari.
“Ibu, kami sengaja memasang lilin yang bertuliskan tiga, tanpa ada angka yang mengikuti di belakang angka tiga ini. Tahukah Ibu? karena kita hanya bertiga. Ibu, kakak, dan adik. Three Angels, biasa Ibu menyebutkannya. Lilin kemudian dinyalakan, aku diminta meniupnya. Kemudian kami hidupkan lagi dan kami bertiga meniupnya.

Emosiku tak terbendung tapi Sang Adik nampaknya paham. Dia netralisir keadaan dengan mengajak kami shalat Ashar. Ketika semua sudah berjalan seperti semula, kami pun melanjutkan rencana yang sudah teragendakan.  

Taman Ismail Marzuki adalah tempat yang akan kami tuju. Aku berencana mendaftarkan dua putriku ini mengikuti lomba puisi. Salah satu teman mengabarkan kalau ada lomba membaca puisi dalam rangka ulang tahun Putu Wijaya. 

Perjalanan indah kedua bagi kami setelah pantai itu. Aku ikuti dua perempuan belia itu. Perjalanan kali ini membuat memori ini kembali ke setiap sudut tahun-tahun lalu. Selalu saja ada cerita di tiap pertambahan bilangan usia. Kadang dalam bentuk kejutan atau hanya kumpul-kumpul bersama teman-teman.
Tahun ini, dipertambahan bilangan usia ini, aku tidak membayangkan bahkan tidak menginginkan orang-orang mengingatnya. Entahlah, aku begitu ketakutan. Aku berharap tak ada yang istimewa di tanggal itu. Biarkan hari itu mengalir seperti hari-hari yang lain. Berdoa semoga orang-orang di sekitarku terlupa bahkan dilupakan. 

Bulan ini, di hari itu aku ingin sang waktu sejenak berhenti bukan untuk menyelesaikan kehidupan. Aku hanya berharap sang waktu sedikit bertoleransi mengurangi jatah hidupku di dunia ini. Alam khayaliku pun serentak meminta sang waktu melemparkan jiwa ini ke alam lampau. 

Demi masa… hanya itulah yang akhirnya mampu menyadarkanku. Waktu bukan tidak ingin bertoleransi padaku. Bukankah Tuhan sudah menyampaikan? Layakkah aku menyesal? Bahkan menyalahkan waktu yang begitu patuh pada-Nya. 

Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Tuhan sudah begitu jelas menyampaikan. Kembali aku harus garis bawahi kata kesabaran. Salah satunya adalah harus berdamai dengan sang waktu. Walaupun tetap berharap semoga hari itu tidak ada kejadian aneh.
Hari itu tiba, aku bernapas lega. Semua berjalan seperti biasa, tak terjadi apa-apa. Aku isi kegiatan di hari itu dengan mengawas siswa kelas XII yang sedang ujian sekolah. Sampai akhirnya salah satu teman mengajar memelukku seraya berkata, “Selamat ya… semoga Allah mengabulkan doamu!” 

Teman-teman yang melihat kemudian satu persatu menyalami, memberi ucapan dan doa. Harapan dan doa yang sama, mereka sampaikan. Aku aminkan setiap doa dan harap teman-teman. Waktu, terima kasih layak tersemat untukmu.   Haru yang tak dapat terdeskripsikan kala untaian doa dan harap terangkai dari  orang-orang  yang peduli dan sayang padaku.

Kejutan hari itu meninggalkan sepenggal kisah di sisa usia. Membawa langkahku menapaki perjalanan usia. Membuka kisah masa kecilku yang tak diperkenalkan dengan tradisi ulang tahun. Ulang tahun asing bagiku. Ulang tahun hanya milik teman-temanku. Aku bahkan tak pernah tahu tanggal lahirku sampai menjejak bangku sekolah dasar. 

Terekam jelas saat itu, aku sudah duduk di kelas lima. Senja menerpa gedung sekolah berlantai dua. Di halamannya berbaris rapi wajah-wajah polos. Mereka berseragam coklat tua dan coklat muda lengkap dengan perlengkapan topi dari anyaman bambu, belati kecil yang terselip diikat pinggang serta gulungan tali putih. Aku, ada dalam barisan itu. Kakak-kakak kelas mengatakan kami akan dilantik. 

Di depan kami Bapak dan Ibu guru serta kakak-kakak Pembina berjajar. Seperti biasa, sebelum upacara kami disiapkan agar barisan rapi. Seorang guru perempuan dengan wajah tegas dan suara nan lantang menyiapkan kami. Upacara berlangsung khidmat. Sampai di penghujung upacara tanpa dinyana sang Ibu guru berwajah tegas dan bersuara nan lantang itu tiba-tiba berdiri di podium. Kami dianggap tidak disiplin. Kami akan dihukum karena ketidaksiplinan kami ketika mengikuti upacara. Sontak, beberapa nama dipanggil, salah satunya adalah aku. 

Rasa takut dan bingung menyelimuti langkahku. Aku tetap mematung di barisan depan dan tak bergeming ke depan. Suara nan lantang kembali memanggilku. Teman-teman menepuk bahuku. Saat itu jantungku seolah ingin lepas. Tubuh mungil ini tergetar melangkah ke depan. Seingatku tiga orang yang maju. Salah satu yang dipanggil sudah menangis. Aku hanya menunduk diam, tidak menangis, namun tidak mampu berkata. 

Apa kesalahanku? Hanya itu yang mampu kukatakan dalam hati. Ibu guru berwajah tegas dengan suara nan lantang itu mendekatiku. Aku semakin tertunduk kaku. Tanganku gemetar ketika beliau mengulurkan gulungan kertas yang katanya berisi catatan-catatan kesalahan. Kami, diminta membaca dengan lantang catatan kesalahan itu. Teman-teman yang berbaris diperintah berhitung. Dalam hitungan ketiga, kami buka gulungan kertas dan membacanya. 

“HARI INI KAMI BERULANG TAHUN, DOAKAN SEMOGA KAMI MENJADI ANAK YANG BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA, DAN AGAMA”

Riuh barisan serentak menyanyikan “Selamat Ulang Tahun”. Guru-guru menghampiri kami, dimulai dari ibu kepala. Saat itulah baru aku tahu tanggal lahirku. Kejutan pertama dan begitu mengesankan. kejutan  yang memperkenalkanku dengan kata ulang tahun.  Walaupun untuk tahun-tahun berikutnya tanggal lahirku berjalan seperti biasa. 

Saat menginjak remaja, tanggal lahir biasa dirayakan dengan memecahkan telur di atas kepala dan membalurinya dengan tepung. Aku sempat mendapat perlakuan itu. Namun, kejadian itu tidak terulang lagi di tahun-tahun berikutnya. Ibuku memarahi tindakan teman-teman. Aku dilarang melakukan tindakan seperti itu. Mubazir kata ibu. Kalau mau merayakan ulang tahun mengapa telur dan tepungnya tidak dibuat panganan saja sehingga bisa kita santap bersama. Patuh kuturuti pesan ibu, dan tak berani aku melemparkan atau memecahkan telur ke kepala teman. Aku hanya ikut tertawa saja.

Sejak kejadian kertas bergulung kesalahan itu, aku tahu tanggal lahirku. Namun, aku tak begitu peduli merayakannya. Ketika usiaku beranjak tujuh belas tahun tak ada perayaan apa pun, terlewati begitu saja. Kala tiap remaja mengidamkan usia itu dirayakan dengan istilah “sweet seventeen” aku tidak pernah meminta dan merajuk dirayakan. Kami sudah terbiasa untuk tidak merayakan tanggal lahir. 

Bukan berarti tujuh belas tak meninggalkan cerita. Saat usiaku beranjak tujuh belas tahun seseorang memberikan es cream dan coklat. Laki-laki itu adalah teman kecilku. Teman bermain petak umpet, kelereng, bentengan dan beragam jenis mainan lainnya. Teman kecil yang mengatakan menyukaiku sejak aku memakai seragam biru. Teman kecil yang selalu saja kutertawakan jika berkata suka. Teman kecil yang sempat menemaniku menapaki masa remaja. Teman kecil yang rela bertahun-tahun menungguiku meraih cita di luar kota. Teman kecil yang akhirnya melangkah mundur karena merasa tak mampu mengiringi langkah kakiku yang waktu itu berkata tak ingin terikat.

Perjalanan usiaku berikutnya aku lampaui di kota Gudeg. Di kota itulah mulai ada tradisi memberikan hadiah. Sahabat yang selalu ingat dan memberikan hadiah istimewa adalah gadis cantik yang besar di salah satu kota di Jawa Barat. Sahabat, ingatkah dirimu pertama kalinya kita menapaki bioskop di kota itu. Film fenomenal yang dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Setelah menonton film itu, tiba-tiba kamu memelukku dan mengucapkan selamat. Aku tidak ingat bahwa itu tanggal lahirku. 

Berikutnya kita menonton dan mungkin itu terakhir kali kamu menemaniku di kota Gudeg. Film 30 hari Mencari Cinta yang kita tonton. Kami tertawa menyaksikan kekonyolan tiga perempuan jomblo yang ingin berusaha menemukan tambatan hatinya. Kala itu, setelah menonton kamu memelukku seraya mengucapkan selamat sekaligus berpamitan kembali ke kotamu. Kamu berhasil menyelesaikan mimpimu di kota gudeg itu. Saat itu aku masih terseok dengan data-data.

Kembali, aku tapaki pertambahan bilangan usia tanpa perayaan. Sampai akhirnya aku kembali ke kota kelahiranku. Bekerja menjadi seorang pengajar. Sejak bekerja itulah tradisi perayaan mulai terbentuk. Kejutan dari murid-murid, teman-teman, hadiah-hadiah, dan traktiran. Walaupun tetap jika di rumah tak pernah ada perayaan.

Beberapa perayaan kuingat,namun ada beberapa kejutan yang terekam kuat dan menjadi kenangan terindah. Kenangan yang membingkai sisa usiaku tentu saja. Kejutan kertas bergulung catatan kesalahan, kejutan dimarahi kepala sekolah dan teman-teman ketika menjadi panitia ujian. Kejutan murid-muridku yang justru membuat mereka terkejut-kejut menantiku di rumah. Dan kejutan bulan ini tahun ini, kejutan istimewa dari dua perempuan belia. 

Kejutan yang mengiringi langkahku, kamu, dan dia ke Taman Ismail Marzuki. Kejutan yang dilakukan justru tidak di tanggal lahirku. Kejutan yang kalian berikan dua hari setelah tanggal itu. Kejutan di malam minggu. Ketika sebagian remaja berkencan atau gelisah merutuki nasibnya yang tidak punya pacar. Kita bertiga justru tidak memikirkan hal itu. 

“Akhirnya Bu, saya bisa ke TIM?” gumam satu perempuan belia yang biasa disapa Kakak. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Disela kebahagiaannya Sang Kakak masih sempat menyampaikan bahwa sesuatu untukku akan menyusul. Andai dua perempuan belia itu tahu isi hati ini. Tak ada bersit lintasan hadiah dari kalian. Karena kehadiran kalian merupakan hadiah istimewa untukku. Mengutip lirik salah satu lagu “Anugrah terindah yang pernah kumiliki”. 

Sang Adik berjalan dengan keceriaannya. Kakak berteriak, meminta Adik menghentikan racun padanya. Aku hanya mampu menggeleng dan tersenyum. “Bu, tahu gak kenapa dari tadi Ade ketawa terus?” Aku menjawab dengan gelengan.
Kakak menjelaskan, “gini loh Bu, tadi di Kopaja kita tuh ditanya sama keneknya. Mau turun mana? Aku dan Adik serempak menjawab ‘TIM’.”
Adik menambahkan, “Dan, si kenek tanya lagi Bu. Terus kita kompak jawabnya.”
“Emang keneknya tanya apa?” tanyaku.
Kakak menjawab, “keneknya tanya begini Bu. Kalian kakak beradik ya? Serempak kami jawab ya! Dan keneknya ngomong begini, percaya deh, kompak banget sih. Terus Bapaknya sama kan?”
“Lantas apa jawaban kalian?” tanyaku lagi.
“Kami hanya berpandangan, kemudian tertawa geli,” jawab Adik. Kemudian celotehan dari kakak muncul, bahwa mereka itu dilahirkan dari orang tua yang berbeda. Tapi dipersatukan oleh satu ibu yang sama,menjadi bersaudara, adik kakak. 
“Ibu yang mempertemukan kami dalam ikatan persaudaraan ini!”

Senja itu, perjalanan kita dan TIM mengajarkanku banyak hal. Mencintai, persaudaraan, seni, semangat dan mimpi. Salah satu pelajaran yang kita dapatkan saat itu adalah obrolan dengan salah satu pedagang klontong. Saat pedagang itu bercerita kami melihat pancaran kebahagiaan.

“Bapak enggak aneh ya melihat orang-orang itu? aku tunjukkan dengan kepala sekumpulan laki-laki yang duduk-duduk di depang gapura TIM. Pedagang itu mengatakan hal itu bukanlah pemandangan aneh buatnya. Banyak hal yang lebih gila yang pernah dia lihat selama berdagang di sini. Dia contohkan tingkah laku mahasiswa-mahasiswa IKJ atau pelaku seni di tempat ini. kita bertiga melihatnya dengan tawa. Pedagang yang teracuni oleh pelaku seni dan mahasiswa seni.

“Lah, Nona-nona ini mau bukannya ke Monas? kan ada Iwan Fals?” pedagang bertanya pada kami.
Aku menjawab, “Oh, sekarang ya Pak? Bukan besok hari Minggu? Ini lagi ada perlu.”
“Uda, percaya enggak kami kakak beradik?” pertanyaan terlontar dari Kakak. Pedagang itu mengamati dua perempuan belia, kemudian menggeleng.
“Emang gak mirip ya Bang? Perhatiin lagi deh Bang. Mereka itu adik kakak, saya ibunya.” Pedagang itu kembali mengamati kami bertiga. Dia mengatakan kalau aku dan kakak mirip, layak disebut ibu dan anak. Adik tetap dianggap berbeda. Aku menjelaskan kalau kita bertiga itu mirip, sama-sama manis. 

“Iya lah Pak, aku beda sama Kakak, karena kita kan lain Bapak.” Kakak mulai membangun cerita fiksi, aku pun membantu. Kukatakan kalau Adik berayah Minang, sedangkan Kakak ditebak oleh pedagang lahir berayah Sunda. Kami kembali tertawa. Pedagang itu menanyakan maksud kedatangan kami bertiga. Kembali lagi dengan cerita fiksi kukatakan kalau mereka ingin kuliah di IKJ, jadi mereka akan survei lokasi.
Pedagang itu kembali bercerita tentang TIM, yang disebutnya sebagai satu-satunya taman di pusat kota yang geliat seninya begitu tinggi. Dia sampaikan pada kami wacana atau pembicaraan orang-orang di tempat ini berkutat pada seni, kehidupan masyarakat terpinggirkan, dan bahagia. Tidak ada rusuh masalah duit, mereka bahagia dan hidup dengan seni yang mereka geluti. 

Kami seperti mahasiswa baru yang sedang mengalami masa orientasi. Mendengarkan cerita dengan saksama, kadangkala diselingi anggukan. Pedagang itu juga memberikan pesan kepada dua perempuan belia putriku. Mereka boleh mengembangkan kreativitas seni, menjadi gila karena seni, namun tetap menjadi mereka yang seperti ini, menjadi muslimah, perempuan solehah, ujarnya. 

Pedagang itu menambahkan tidak heran kalau orang-orang di sini awet muda.  Dia menunjuk salah satu seniman yang duduk-duduk di gapura. Rambutnya sudah memutih, tapi penampilan dan wajahnya tetap muda. Kami mengangguk entah menyetujui atau meragukan ucapan pedagang itu.
TIM, senja ini mengajarkan kami tentang seni, kebahagiaan, kebersahajaan, dan mungkin konsep awet muda. Di tempat ini pula kita (aku, kamu, dan dia) berdiskusi tentang konsep cantik. Dimulai dari Adik yang berangan-angan berkulit putih. 

“De, dengerin kakak ya… kalau ada laki-laki yang melihatmu dan menatap matamu, bodoh kalau dia tidak tergoda untuk memilikimu. Kamu punya mata yang indah.” Adik nampak malu-malu tersipu. Aku menyetujui ucapan Kakak. Kukatakan Adik itu kalau ke luar negeri banyak yang mau menikahinya.
“Ibu, sejak kecil enggak pernah menyesal punya kulit coklat mungkin cenderung gelap. Cantik itu jadi diri sendiri De!”  Masalah kulit coklat atau sawo matang cenderung gelap akhirnya membuat kami berdiskusi tentang konsep cantik. Memunculkan kesamaan pandangan bahwa cantik itu subjektif mungkin relatif. Iklan atau mungkin media massa yang membuat orang membentuk opini bersama tentang cantik.

Sampai pada kesimpulan diskusi kami, bahwa kami bertiga memang tidak cantik. Kita adalah tiga gadis manis. Adik yang manis dan semakin menarik dengan mata indah, keriangan, kelincahan, dan pastinya cerdas. Adik bagi aku dan Kakak adalah istimewa, multitalenta kami menyebutnya. Kakak, yang manis dengan alisnya yang indah, ketenangan, kekritisannya, dan tentu juga cerdas. Kakak yang dijuluki oleh salah satu temanku, sebagai titisan perempuan belia 100 tahun silam. Perempuan belia yang asupan bacaannya banyak. Sastra dan filsafat adalah salah satu bacaan yang biasa.  Aku setuju dengan pendapatmu teman.

Malam merayapi TIM, kami pun bergegas kembali. Namun, kepulangan kami tidak mengakhiri kisah kita. Malam ini kejutan istimewa diakhiri di sebuah kamar yang tidak besar. Perempuan belia yang kami sapa Kakak memutuskan menginap. Kembali kami mashyuk berbagi kisah. Malam itu, perempuan belia itu mengajakku menapaki masa-masa aku berproses di kota Gudeg. Kubongkar semua catatan dan buku-buku yang pernah kubaca. Dengan kalap perempuan belia itu mengambil enam buku. 

Sepenggal kisah dalam menapaktilasi perjalanan usiaku ini, mungkin tak bisa terangkai semua. Hanya saja jelang kami lelap, dua perempuan belia itu menyadarkanku untuk kembali berani bermimpi. Mereka menyulut semangatku. Usia semestinya tak menghalangiku untuk bercita-cita. Aku yang sempat takut memilin mimpi, kini mencoba mengambil benang-benang harapan. Memilin, merajut, untuk langkah ke depan. Malam, itu kita mematri mimpi, mimpi besar kita adalah memberi pengaruh kepada yang lain. Seperti kutipan firman Tuhan yang kukutip di kisah awal, “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” 

(Kicauan, mungkin tak terpahami, karena aku pun sedang merenung utk memahami tulisan ini)